Minggu, 24 Juli 2016

Dua Dunia

Sudah sejak lama saya menyadari bahwa kita punya cukup banyak perbedaan dunia. Saya tidak tahu bagaimana membuat sebuah paragraph pembuka untuk tulisan ini. Tapi kalimat di atas jelas mewakilinya.

Saya bukanlah orang yang pandai bersosialisasi meskipun senang turut aktif di dunia maya; sosial media. Ketika terjun langsung ke dalam sosial, saya merasa asing dan tidak tahu harus apa, bersikap apa, bicara apa, menggunakan manner yang mana, dsb. Maka dari itu, saya agak benci bersosialisai. Menurut saya, bersosialisasi hanya ajang pura-pura. Banyak pura-puranya -_- Entahlah, itu masih opini awal saja, masih bisa berubah seiring tulisan ini berlanjut.

Saya sering merasa iri pada orang-orang yang pandai dan piawai bersosialisasi. Hidup terlihat mudah. Relasi di mana-mana, tidak perlu malu, terampil dalam berkomunikasi dengan berbeda orang, dsb. Saya hanyalah anak kecil gadis ingusan yang merasa cukup dengan kesendirian dan lingkaran kecil kehidupan sosialnya.

Saya iri padamu. Iya, kamu, K. Kamu sangat piawai bicara dan bersikap di depan berbeda orang. Meski demikian, di belakang mereka kamu selalu bicarakan hal yang sangat tidak saya sangka dari sikapmu menghadapi mereka. See, bersosialisasi hanya ajang pura-pura. Dibutuhkan kepiawaian.

Sejauh ini saya sudah mencoba beberapa hal untuk meningkatkan kemampuan bersosialisasi saya. Mencoba bergabung dalam organisasi dan ekstrakulikuler di sekolah dan kampus. Hasilnya, yah, saya punya lebih banyak pengalaman dari sebelum-sebelumnya. Saya juga kenal lebih banyak orang dari sebelumnya. Tapi saya belum bisa menaklukkan diri saya yang menyukai kesendirian dan kontemplasi, berpikir tentang banyak hal; bercumbu dengan imajinasi yang tak pernah berbatas.

Terima kasih, kamu pun sudah turut ikut memperkenalkan saya pada duniamu yang penuh dengan orang-orang. Tapi, tetap saja, jika saya tidak merasa nyaman, saya tidak bisa diam. Saya rasa, kita memang berbeda dalam hal itu.

Mengingat kembai masa SMA, saya mengikuti 3 kegiatan; Pramuka, OSIS, dan Paskib. Ketiganya saya ikuti atas dasar keingintahuan dan menantang diri untuk lebih berani. Tapi sayang, saya tidak bisa bertahan sampai lulus dalam ketiganya. Saya hengkang dari Paskib setelah latgab pertama yang sangat melelahkan, fisik saya tidak mau disiksa. Saya perlahan meninggalkan OSIS di kelas  XI. OSIS mulai menjemukan sejak awal, tapi saya memaksakan diri saja karena masih penasaran dengan kinerja kerjanya. Ah, terlalu banyak orang yang cari muka, menurut saya. Not my style. Dan Pramuka, saya tidak ingat kapan saya meninggalkan ekskul kesukaan saya itu. Di Pramuka, saya banyak mendapat apa yang ingin saya alami; kemah misalnya.

Tentu saja, dalam setiap organisasi, setiap tahunnya kita pasti punya “adik”. Kemudian ketika lulus, kita akan menjadi alumni dan punya banyak “adik”, ditegur dan dikenal. Saya menginginkan hal itu. Tapi saya tahu bahwa saya bukan orang yang bisa betah berlama-lama bersikap manis dan sebagainya. Jadi, saya tidak tahu apakah status saya sebagai alumni dan diingat oleh “adik-adik” itu tercapai atau tidak. Setidaknya, saya punya bekas ingatan bahwa saya pernah menjadi “kakak” bagi mereka.

Rekam jejak saya dalam mengikuti organisasi tidak  bisa dibilang bagus atau keren. Hal tersebut karena… bagaimana menjabarkannya, ya? Saya tidak berbakat dalam urusan bersosialisasi.

Berbeda dengan kamu. Kamu sangat suka bersosialisasi, terjun mengurusi urusan kemanusiaan, ikut organisasi besar dan terlibat dengan banyak jenis manusia, berinteraksi dengan mereka menggunakan seribu topengmu. Sebenarnya saya benci melihat itu. Alasanmu, pelarian. Entahlah. Saya iri tetapi saya benci.

Lebih mudah rasanya berada di luar lingkaran sosial dan berfokus pada diri dan dunia sendiri. Membentuk sosial sendiri. Tapi tentu, diciptakan sebagai makhluk sosial, saya harus bersosialisasi. Dan saya sangat pemilih. Sayangnya saya bukan air yang bisa nyaman dalam wadah berbagai bentuk.

Kata orang, hidup itu dimulai ketika kita meninggalkan zona nyaman kita. Saya berpikir, kenapa? Toh dalam zona nyaman itu sendiri banyak tantangan. Ataukah persepsi dan interpretasi saya yang masih terlalu sempit?

Dunia kita sungguh terasa berbeda jika berbicara mengenai hal itu, K. Saya benar-benar terganggu dengan urusan dan kesibukanmu dalam dunia itu. Awalnya, saya merasa egois karena tidak suka bersosialisasi. Tapi sekarang saya malah berpikir bahwa mereka yang egois, menyita waktu seseorang. Ya, mereka, organisasi kesayanganmu dengan orang-orang yang sering kamu kritik itu. Saya tidak mengerti kenapa kamu memaksakan diri bertahan jika kamu sering merasa jengah. Bukankah hidup ini soal pilihan di mana kamu bisa memilih untuk hengkang saja? Entahlah, dunia kita berbeda.

Suatu masa, ketika saya sedang merasa nyaman dengan organisasi kampus yang saya geluti, kamu merasa jengah dan marah-marah sampai menyuruh saya berhenti. Tapi saya suka! Tapi kamu tidak suka! Mungkin otak saya yang terlalu fleksibel ini mudah saja dirasuki sugestimu itu, sampai akhirnya saya vakum. Sudah tidak ada lagi kegiatan yang menjadi sainganmu dalam menghabiskan waktu saya. Clear.

Sekarang, saya mau menuntut ganti rugi, timbal balik, upah, bayaran, atau apa lagi namanya atas waktumu! Kamu. Sibuk dengan urusanmu, duniamu, organisasimu. Haruskah sekarang saya hengkang dari dirimu? Ya, membuat saya jengah. Menunggu seperti orang bodoh tak ada kerjaan, mengharap kabar yang tak pernah datang, menunggu telepon yang tak juga berdering, menunggu waktumu, semenit saja, untuk berbincang kecil. Tidakkah kamu paham? :D

Mencoba ikuti duniamua termasuk juga usaha saya dalam menyembuhkan anti-sosial saya. Tapi nyatanya, sama saja. Hanya membuat sakit hati dan lelah. Seperti kegiatan-kegiatan lainnya yang pada akhirnya saya tinggalkan karena perasaan tidak nyaman dan lelah akan kepura-puraan, haruskah? Haruskah kamu menjadi hal berikutnya yang harus saya tinggalkan? Lalu kemudian saya berfokus pada dunia saya, di mana hanya ada saya, imajinasi yang sedang tidur pajang, dan mimpi-mimpi yang tak kunjung tergapai.

K, dunia saya dan duniamu adalah dua hal yang berbeda. Pada titik ini, sosial. Saya tidak bisa mengerti akan waktumu yang habis tersita oleh kegiatan organisasi karena saya bukan lagi orang organisasi (karena kamu). Dulu, ketika saya masih menjadi orang organisasi, saya masih bisa kok menyisihkan waktu untuk kamu. Saya sungguh bertanya-tanya dengan serius, mengapa bisa dari 24 jam itu tidak ada 1 menit pun untuk saya, sementara  saya bisa menyisihkan lebih dari 1 menit untukmu.

Jawablah; apakah duniamu adalah hal selanjutnya yang harus saya tinggalkan?


Jumat, 29 Januari 2016

Cerita 27 ke-29

Hai. Setelah beberapa bulan tidak pernah muncul kisah di sini, hari ini muncul juga. Ada cerita tentang beberapa hari yang lalu dan beberapa keping memori.

Pada 27 yang ke-29, kami break. Bukan break-up. Hanya rehat dari urusan yang mengikat hati. Kami sepakat. Awalnya saya yang ingin mengajukan tawaran serupa, tapi tak tega. Akhirnya dia yang berucap duluan. Dan kami sepakat. Saya merasa dia butuh waktu untuk “hidup”. Dan dia merasa saya masih punya urusan yang belum selesai, jadi saya harus menyelesaikannya. Demikian, kami sepakat untuk rehat sejenak. Kata dia, perihal nanti akan lanjut atau tidak, dia akan tidak mengapa. Saya hanya mengiyakan saja karena belum bisa memberikan jawaban yang jelas pasti. Tapi satu yang pasti, saya mesti menyelesaikan apa yang belum selesai.

Bermula dari sebuah mimpi. Saya bukanlah tipikal orang yang sering bermimpi bunga tidur. Kalaupun bunga tidur, paling jarang-jarang. Tapi mimpi yang satu itu seperti punya jatah sendiri untuk datang, setidaknya menurut kesimpulan sementara saya. Mimpi dengan dasar yang sama, pola yang sama, dan berkala. Apa mau dikata? Terkadang saja saya memilih mimpi, tapi pada akhirnya mimpi itu mengatur dirinya sendiri –atau alam bawah sadar saya yang menggila.

Dan mimpi itu datang lagi. Dia. Muncul di mimpi itu dengan seragamnya. Mimpi saya hitam-putih bak layar televisi jaman kapan. Berdiri dengan jarak beberapa meter saja, yang penting masih bisa memantau saya yang sedang bercengkrama dengan teman-teman sejawat. Berdiri memantau, mengawasi, dan menunggu. Hampir selalu seperti itu pada setiap mimpi yang ada.

Saya ingin bercerita pada dia, bukan dia. Saya ingin tanpa rahasia dengannya, tapi tak tega. Saya tahu kisah tentang dia tentu akan membuat dia merasa panas dan sekuat energi menahan diri dari gejolak api cemburu yang lekas membara. Alih-alih menjaga perasaannya, ternyata saya malah seperti memberinya luka dengan silet tumpul. Ketika saya bercerita, setelah kami sepakat rehat, dia bilang sayang sekali baru diceritakan sekarang. Tak taunya dia sudah tau. Dan rasanya seperti memakan kue jatah dia lalu pura-pura tak tau, tapi ternyata dia sudah tau. Tidak enak! Dan serba salah.

Dalam masa rehat, kami sepakat untuk tidak terlalu sentimental terhadap hal-hal yang biasanya membuat cemburu atau sakit hati. Istilah saya sih netral. Jadi, jujur-jujuran saja. Memang dasar tak enakan, dia pun sungkan bilang perasannya walau tetap dikatakan juga.

Baru berjalan dua hari ditambah hari ini. Hati saya rasanya melambung mengikuti angin saja, seperti kapas yang terbang terlepas dari buah kapuk yang masih menggantung di pohon. Belum ada yang terlihat pasti, semua masih kabur, sekabur penglihatan saya tanpa bantuan kacamata. Ada harapan yang sudah bulat bersamanya, tapi bulatan itu belum akhir-bertemu-awal hingga terasa belum bisa dibilang bulat. Entahlah. Susah sekali menjelaskan bagaimana harapan ini ingin bersama dia. Hati berkata ingin, tapi rupa-rupanya hati saya mengidap bipolar, yang satunya lagi berkata ingin bersama dia. Sebagai satu raga satu kepala, saya hanya bisa penasaran dengan sistem semesta ini. Tak sabar untuk besok, pun belum siap.

Semoga masa rehat ini benar-benar menjernihkan semua. Semoga saya mampu menyelesaikan yang belum selesai ini. Dan semoga semua yang belum jelas menjadi jelas sekali.

Salam,
Adik kecil yang selalu membutuhkan Abangnya.

PS: tulisan ini mungkin sangat egois, tapi mau bagaimana? Saya tidak bisa membaca pikirannya dan –nya. Sekedar curhatan belaka supaya rehat ini agak melegakan hati (yang bipolar).

Jumat, 27 November 2015

Pada 27 ke-27

Hai, Partner! Menyenangkan sekali bisa punya partner seperti kamu. Sekarang, kalau baca novel dan meneliti karakteristik tokoh lelakinya, selalu ingatan kembali ke kamu. Ya, apakah semua yang pernah saya angan-angankan ketika membaca novel sekarang menjadi nyata? Jadi, tiap membaca novel roman rasanya basi. Fiksi yang seperti itu sudah menjadi nyata dalam hidup saya sejauh ini.

Mari saya biarkan memori ini memutar balik apa yang terjadi selama dua-puluh-delapan bulan…

Ah, kita tidak senormal pasangan lain, ya! Dan kita selalu merasa bangga akan hal itu. Yah, meskipun kamu sering menuntut hal-hal “normal” seperti yang lain, tapi tentu saya tidak senormal perempuan lain. Ha ha ha. Apakah saya juga sering menuntut hal “normal”? Apakah kamu menurutinya? Hmm… Kalau saja iya, itu artinya jiwa menjadikan fiksi sebagai nyata saya ternyata masih kuat. Seperti anak kecil.

Secara harfiah maupun istilah, bukannya kita memang berbeda? :p

Sepertinya angan-angan saya pada peringatan yang ke-28 ini masih sama –atau berbeda– entahlah. Saya hanya ingin menaruh kepercayaan padamu dan jangan kamu coba-coba untuk merusaknya. Sedikit demi sedikit kamu mendapatkan bagian dari hati saya. Saya harap kamu melakukan yang terbaik saat ini untuk ke depannya. Perjalanan kita masih panjang, kan? Doakan saya supaya terus bisa mengimbangi  langkah kakimu yang, kamu tahu, terkadang terlalu cepat atau kadang juga sangat lambat. Jangan tinggalkan saya dalam jalan setapak yang gelap, pun jangan biarkan saya berjalan sendiri meski ada bulan purnama. Apalah artinya bulan purnama kalau udara dingin menggigit? Bukankah lebih hangat kalau kita jalan bersisian?

Napak tilas dua-puluh-delapan bulan. Banyak hal yang terjadi. Mungkin seperti tali yang dijalin, semakin lama, akan semakin kuat. Kitakah seperti tali yang dijalin itu?

Hai, Partner! Senang sekali saya bahwa ada seseorang yang dengan keras kepalanya –tak kalah keras kepala dengan saya ini– bersikukuh untuk bertahan melakukan petualang  dengan saya. Saya sadar sekali bahwa saya tidak sempurna, banyak hal yang belum bisa saya lakukan, bahkan hal sederhana pun belum sempurna bagi saya. But, I’m glad to know that you can love me as I am and willing to wait for me, the best of me. Thank you.

What I am going to say? Not much, thank you for being my partner for this far. I can be as moist as a cheese cake, but also I can be as rough as diamond. But, however I am, you will still love the same, won’t you?

So, keep stand by my side and let’s be partner forever! Xoxo

Senin, 24 Agustus 2015

Sebuah Puisi Patah Hati

Pada senja yang sendiri
aku menemani secangkir kopi yang kesepian
dengan kekentalan yang lebih,
dengan gula yang sedikit,
dan perasaan dalam hati yang masih sama.
Berharap cara lama masih manjur,
secangkir kopi untuk sebuah patah hati.

4:57pm

Sabtu, 15 Agustus 2015

Hari Bersamanya~

Hadiah ulang tahun yang terlambat. Bukan sebuah kesalahan besar.

Terpisah jarak selama hampir dua bulan ternyata membawa efek yang agak bagus. Nyatanya, saya bisa jatuh cinta juga. Akhirnya setelah hampir dua tahun lamanya. Saya lupa bagaimana memperlakukan orang yang saya sayangi, tapi rasanya dengan dia saya tidak perlu repot-repot. Meskipun kita ada tipe orang yang sama sekali berbeda. 

Dia kemaren bertutur bahwa sungguh aneh bahwa dia bisa jatuh cinta pada orang seperti saya. Dia, ingin sekali dimanja, disayang-sayang, dan ditunjukkan bagaimana kasih sayang dalam tindakan. Tapi saya sama sekali kebalikannya. Ketika saya jatuh cinta kemudian menyayangi seseoranng, saya lebih suka tidak melisankannya, tidak menunjukkannya secara frontal, cukup seperti dalam diam saja. Tapi apa mau dikata, pada akhirnya dialah yang melakukan hal-hal yang dia inginkan. Dan saya, saya menyayanginya dengan cara saya yang diam.

Saya diam terkadang saya malu jika harus mengumbar-umbar kata cinta sementara ujung perjalanan belum terlihat. Jalani sebagaimana adanya saja. Tapi ketika ingin menyampaikan sesuatu, saya menuliskannya, lalu memberinya untuk dibaca. Lambat laun (mungkin) kita terbiasa dengan ritme seperti itu.

Dia pernah mengeluhkan mengapa saya seringkali membuatnya terbang namun sejurus kemudian menghentaknya ke tanah. Saya sering menjawab tidak tahu. Sekarang saya hampir menemukan jawabannya karena saya memikirkannya terus-menerus. 

Mungkin saya seperti itu karena saya tidak mau memberi harapan berlebih, harapan yang cukup saja. Bukankah lebih sakit sebuah harapan kosong? Nah, selain itu juga... mungkin ini akan membuat dia melayang terbang, saya selalu menjatuhkannya ke tanah lagi karena saya tak ingin dia melayang. Kalau dia melayang, dengan siapa saya berpijak? Dengan siapa saya berjalan bersisian? Siapa yang menggandeng tangan saya? Dengan siapa saya akan memandang langit bertabur bintang? 

Katanya dia akan merantau lagi. Ah, padahal belum sampai sebulan kita di pulau yang sama. Kalau dulu dia ingin pergi, saya tidak merasa sedih atau apa. Tapi rupanya sekarang hati saya memang sudah berubah, saya bisa merasa sedih. Bahkan hanya memikirkan sebuah ketidakpastian akan kepergiannya pun membuat nafsu makan saya luntur (atau karena masih kenyang?).

Buku-buku. Mungkin selain dengan makanan, buku-buku adalah hal yang akan bisa membuat saya merasa lebih disayang. Sebagai seseorang yang cukup suka membaca, diberikan buku rasanya sangat bahagia. Dan ketika seseorang yang menyayangi kita memberikan hal yang bisa membuat kita bahagia rasanya seperti disayang sepenuhnya. Karena apa? Karena hal seperti itu seperti dia mau membaur dengan hidup kita meski hidupnya sungguh tidak sama sekali berhubungan dengan hal yang membuat kita bahagia. Tapi bukankah melihat orang yang kita sayang bahagia sudah membuat kita pun cukup bahagia? 

Selang sehari kita bertemu. Dibilang sengaja, iya. Dibilang memaksakan, juga iya. Dibilang  kebetulan, bisa juga. Yang jelas, pertemuan kita harus selalu berkualitas. Di zaman ini rasanya kuantitas tak ada harganya, hanya kualitas yang dijunjung tinggi. Begitu juga dengan pertemuan kita. Meskipun tak sering -juga tak jarang- tapi sebisa mungkin setiap pertemuan kita buat berkualitas, bukan? 

Dalam setiap pertemuan rasanya seperti saya punya banyak hal untuk dikatakan dan dibahas. Tapi yang terjadi adalah saya hanya bertukar cerita ringan yang sering kali tidak penting. Kemudian, rasanya kalau bertemu itu hanya ingin memuaskan diri menatap dia saja. Rindu tidak butuh kata. Rindu saya, butuh dia. 

Bicara soal rindu, bagaimana mekanisme rindu itu? Dia selalu mengucap rindu padahal baru saja bertemu. Dia selalu mengucap rindu, kadang tanpa memikirkan saya yang juga memang rindu tapi lebih memilih diam. Ya, kita berbeda. Saya akan mengira-ngira. Mungkin rindu adalah perasaan yang datang ketika kita usai bertemu, ketika kita sudah lama tak bersua, ketika kita menginginkan pertemuan. Semua benar, bukan? Tapi saya heran, mengapa saya bisa merasa rindu bahkan ketika sedang duduk di hadapannya? Ketika bersamanya dan memikirkan dia akan jauh lagi pun sudah membuat bakal rindu.

Banyak hadiah yang dia berikan untuk saya, tapi sebaliknya. Mungkin hadiah saya untuknya hanya tulisan-tulisan tentang perasaan saya yang sungguh sukar saya lisankan di hadapannya. Jangankan di depannya, di depan-Nya pun sungguh sulit mengatakan keinginan saya. Bukankah Dia selalu tau apa yang dibatinkan setiap hamba-Nya? Setidaknya, begitulah yang saya pikir.

-Pada sore yang sejuk, penuh rindu.

Senin, 10 Agustus 2015

Pesan dari Ego

Setelah membaca tulisan sebelum ini ada Ego yang berbisik. Dia menyampaikan cerita. Ego bilang kemarin Hati datang menemuinya untuk bercerita. Hati berkata pada Ego untuk membantunya menyelesaikan tugas. Namun Ego sempat bertanya beberapa kali sebelum akhirnya Hati menjelaskan bahwa tugas Ego adalah membatu Hati untuk didengar oleh sosok yang diharapkannya agar bisa diperlakukan layaknya hati dengan sepenuhnya, karena Hati bercerita bahwa anggapannya, "Jika sosok itu bisa menerima Hati yang sebelumnya dengan lapang, kenapa tidak dengan saya? Apa yang membedakan saya dengan Hati yang lain?"

Sebelum pergi, Ego sempat berbisik pelan... "Sampaikan maaf pada Cinta karena aku sering menghalanginya sehingga muncul Benci mengambil tempatnya."

Salam,
Zombie.