Senin, 24 Agustus 2015

Sebuah Puisi Patah Hati

Pada senja yang sendiri
aku menemani secangkir kopi yang kesepian
dengan kekentalan yang lebih,
dengan gula yang sedikit,
dan perasaan dalam hati yang masih sama.
Berharap cara lama masih manjur,
secangkir kopi untuk sebuah patah hati.

4:57pm

Sabtu, 15 Agustus 2015

Hari Bersamanya~

Hadiah ulang tahun yang terlambat. Bukan sebuah kesalahan besar.

Terpisah jarak selama hampir dua bulan ternyata membawa efek yang agak bagus. Nyatanya, saya bisa jatuh cinta juga. Akhirnya setelah hampir dua tahun lamanya. Saya lupa bagaimana memperlakukan orang yang saya sayangi, tapi rasanya dengan dia saya tidak perlu repot-repot. Meskipun kita ada tipe orang yang sama sekali berbeda. 

Dia kemaren bertutur bahwa sungguh aneh bahwa dia bisa jatuh cinta pada orang seperti saya. Dia, ingin sekali dimanja, disayang-sayang, dan ditunjukkan bagaimana kasih sayang dalam tindakan. Tapi saya sama sekali kebalikannya. Ketika saya jatuh cinta kemudian menyayangi seseoranng, saya lebih suka tidak melisankannya, tidak menunjukkannya secara frontal, cukup seperti dalam diam saja. Tapi apa mau dikata, pada akhirnya dialah yang melakukan hal-hal yang dia inginkan. Dan saya, saya menyayanginya dengan cara saya yang diam.

Saya diam terkadang saya malu jika harus mengumbar-umbar kata cinta sementara ujung perjalanan belum terlihat. Jalani sebagaimana adanya saja. Tapi ketika ingin menyampaikan sesuatu, saya menuliskannya, lalu memberinya untuk dibaca. Lambat laun (mungkin) kita terbiasa dengan ritme seperti itu.

Dia pernah mengeluhkan mengapa saya seringkali membuatnya terbang namun sejurus kemudian menghentaknya ke tanah. Saya sering menjawab tidak tahu. Sekarang saya hampir menemukan jawabannya karena saya memikirkannya terus-menerus. 

Mungkin saya seperti itu karena saya tidak mau memberi harapan berlebih, harapan yang cukup saja. Bukankah lebih sakit sebuah harapan kosong? Nah, selain itu juga... mungkin ini akan membuat dia melayang terbang, saya selalu menjatuhkannya ke tanah lagi karena saya tak ingin dia melayang. Kalau dia melayang, dengan siapa saya berpijak? Dengan siapa saya berjalan bersisian? Siapa yang menggandeng tangan saya? Dengan siapa saya akan memandang langit bertabur bintang? 

Katanya dia akan merantau lagi. Ah, padahal belum sampai sebulan kita di pulau yang sama. Kalau dulu dia ingin pergi, saya tidak merasa sedih atau apa. Tapi rupanya sekarang hati saya memang sudah berubah, saya bisa merasa sedih. Bahkan hanya memikirkan sebuah ketidakpastian akan kepergiannya pun membuat nafsu makan saya luntur (atau karena masih kenyang?).

Buku-buku. Mungkin selain dengan makanan, buku-buku adalah hal yang akan bisa membuat saya merasa lebih disayang. Sebagai seseorang yang cukup suka membaca, diberikan buku rasanya sangat bahagia. Dan ketika seseorang yang menyayangi kita memberikan hal yang bisa membuat kita bahagia rasanya seperti disayang sepenuhnya. Karena apa? Karena hal seperti itu seperti dia mau membaur dengan hidup kita meski hidupnya sungguh tidak sama sekali berhubungan dengan hal yang membuat kita bahagia. Tapi bukankah melihat orang yang kita sayang bahagia sudah membuat kita pun cukup bahagia? 

Selang sehari kita bertemu. Dibilang sengaja, iya. Dibilang memaksakan, juga iya. Dibilang  kebetulan, bisa juga. Yang jelas, pertemuan kita harus selalu berkualitas. Di zaman ini rasanya kuantitas tak ada harganya, hanya kualitas yang dijunjung tinggi. Begitu juga dengan pertemuan kita. Meskipun tak sering -juga tak jarang- tapi sebisa mungkin setiap pertemuan kita buat berkualitas, bukan? 

Dalam setiap pertemuan rasanya seperti saya punya banyak hal untuk dikatakan dan dibahas. Tapi yang terjadi adalah saya hanya bertukar cerita ringan yang sering kali tidak penting. Kemudian, rasanya kalau bertemu itu hanya ingin memuaskan diri menatap dia saja. Rindu tidak butuh kata. Rindu saya, butuh dia. 

Bicara soal rindu, bagaimana mekanisme rindu itu? Dia selalu mengucap rindu padahal baru saja bertemu. Dia selalu mengucap rindu, kadang tanpa memikirkan saya yang juga memang rindu tapi lebih memilih diam. Ya, kita berbeda. Saya akan mengira-ngira. Mungkin rindu adalah perasaan yang datang ketika kita usai bertemu, ketika kita sudah lama tak bersua, ketika kita menginginkan pertemuan. Semua benar, bukan? Tapi saya heran, mengapa saya bisa merasa rindu bahkan ketika sedang duduk di hadapannya? Ketika bersamanya dan memikirkan dia akan jauh lagi pun sudah membuat bakal rindu.

Banyak hadiah yang dia berikan untuk saya, tapi sebaliknya. Mungkin hadiah saya untuknya hanya tulisan-tulisan tentang perasaan saya yang sungguh sukar saya lisankan di hadapannya. Jangankan di depannya, di depan-Nya pun sungguh sulit mengatakan keinginan saya. Bukankah Dia selalu tau apa yang dibatinkan setiap hamba-Nya? Setidaknya, begitulah yang saya pikir.

-Pada sore yang sejuk, penuh rindu.

Senin, 10 Agustus 2015

Pesan dari Ego

Setelah membaca tulisan sebelum ini ada Ego yang berbisik. Dia menyampaikan cerita. Ego bilang kemarin Hati datang menemuinya untuk bercerita. Hati berkata pada Ego untuk membantunya menyelesaikan tugas. Namun Ego sempat bertanya beberapa kali sebelum akhirnya Hati menjelaskan bahwa tugas Ego adalah membatu Hati untuk didengar oleh sosok yang diharapkannya agar bisa diperlakukan layaknya hati dengan sepenuhnya, karena Hati bercerita bahwa anggapannya, "Jika sosok itu bisa menerima Hati yang sebelumnya dengan lapang, kenapa tidak dengan saya? Apa yang membedakan saya dengan Hati yang lain?"

Sebelum pergi, Ego sempat berbisik pelan... "Sampaikan maaf pada Cinta karena aku sering menghalanginya sehingga muncul Benci mengambil tempatnya."

Salam,
Zombie.

Pratinjau 731 Hari

Selamat petang! Pada tulisan kali ini saya akan mencoba untuk meninjau kembali langkah-langkah yang sudah saya tempuh selama ini, bersama seseorang yang masih mau bertahan berjalan di samping saya.

Jadi, semua berawal dari jebakan bernama flash back. Memang hal itu sama sekali tidak baik, tapi kalau sedang kurang berperasaan saya sering melakukannya, dan saya tau bahwa hal itu tentu sangat menyakitkan bagi seseorang. Sejauh ini, 731 hari, saya terlalu banyak menoreh luka di hatinya. Untuk itu saya mohon maaf, Zombie.

Beberapa malam yang lalu saya sangat tergoda untuk flash back, bukan untuk apa-apa, hanya ingin mencari inspirasi saja, sih. Saya pun mengorek timeline Facebook saya pada dua tahun yang lalu. Ternyata banyak hal manis yang saya tuliskan di sana. Selain itu, ada juga tautan-tautan blog yang saya bagi di sana. Saya membuka tautan tersebut dan membaca tulisan saya pada waktu itu. Saya tidak menyangka bahwa ternyata saya bisa sekali menuliskan hal-hal se-romantis itu, saya jadi salah tingkah. Ternyata dulu saya bisa total jatuh cinta pada seseorang. Tapi itu dulu.

Dulu saya yang masih ingusan sangat tergiur dengan kisah cinta dalam novel atau film ataupun drama yang seandainya jadi nyata. Dulu saya sangat bahagia bisa mendapatkan sosok laki-laki yang saya adore menjadi kekasih saya, tapi setelah dipikir-pikir semua memang ada masanya. Sekarang cara saya memandang cinta sudah tidak selabil dulu, tidak se-mudah terpengaruh oleh lingkungan input saya, dan tidak berjalan semulus pipi dedek bayi. Dulu dan sekarang, kalau masih sama berarti kita tidak melanjutkan hidup, tidak berkembang, dan tidak mendewasa #tssah. Dulu dan sekarang, semuanya berbeda.

Sebelum mengetik tulisan ini, saya menyempatkan diri untuk membaca tulisan-tulisan saya di masa lalu. Saya lihat bahwa dulu saya sangat optimis sudah move on, tapi sepertinya waktu itu saya terlalu ingin untuk move on sehingga mengawalinya dengan pura-pura. Waktu itu saya ingin lekas sembuh dari kehilangan, saya berusaha menyemangati diri saya dengan menulis hal-hal yang kiranya menunjukkan bahwa saya sudah siap untuk bertemu dengan cinta yang baru. Nyatanya, move on tidak semudah yang pernah saya tuliskan.

Tapi membaca lagi tulisan-tulisan terdahulu membuat saya berpikir ulang mengenai keputusan-keputusan yang sudah saya ambil. Keputusan memulai, mengakhiri, dan memulai lagi. Sampai saat ini saya sedang berada dalam tahap menjalani sesuatu yang secara nekat saya mulai. Pada salah satu tulisan saya mengungkapkan bahwa saat itu saya sedang menulis kisah dan baru sampai pada halaman bab satu. Kini, setelah 731 hari berlalu, rasanya saya dan dia sudah sampai pada halaman bab dua puluh empat.

Sudah jauh perjalanan saya dan dia, Zombie. Sudah berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus halaman cerita yang kami tulis. Kadang saya merasa baru saja kemarin memutuskan untuk memulai cerita baru dengannya sehingga seringkali saya merasa cukup dekat untuk kembali dan melanjutkan cerita yang sudah lama saya akhiri. Setelah membaca kembali tulisan-tulisan dulu, saya menyadari beberapa hal yang membuat saya kembali pada alur cerita yang sedang saya tulis.

Saya menyadari waktu. Ketika mengakhiri cerita terdahulu sudah terlalu lama untuk disebut kemarin. Jelas saja langkah yang sudah saya tapak sejak saat itu hingga detik ini pun sudah terlalu banyak dan  jaraknya jauh sehingga tak akan mudah untuk kembali lagi. Semua orang pasti akan melanjutkan hidup bagaimanapun caranya, bukan? Ketika saya berpikir untuk berbalik dan kembali, sekarang saya akan mengingatkan diri saya bahwa semua tak akan lagi sama seperti sebelumnya. Seharusnya saya konsisten dalam memegang prinsip saya; jalani saja semua tanpa berharap apa-apa dari masa lalu dan fokus pada masa depan karena semua akan tiba pada waktunya. (kurang lebih begitu)

Membaca kembali tulisan-tulisan lama membuat saya sadar bahwa saya sudah memutuskan untuk terus maju, tapi yang terjadi belakangan ini adalah saya maju tapi seringkali menoleh ke belakang untuk membandingkan keadaan. Saya salah. Tidak akan pernah ada yang sama. Pada salah satu tulisan saya pernah menulis bahwa yang lebih baik pasti akan datang setelah saya memutuskan untuk kehilangan. Dan jika saya pikir-pikir lagi ... itu ada benarnya.

Saya memutuskan untuk kehilangan seorang cinta pertama yang menurut saya sangat indah. Kemudian saya didatangi oleh cinta yang lain. Akan datang yang lebih baik. Ya, lebih baik. Apa lagi yang kau butuhkan ketika sudah ada seseorang yang menerimamu apa adanya, berusaha membuatmu terus bahagia, berusaha untuk terus ada, menyemangatimu meski kau telah membuat sebuah kesalahan, mendukung mimpi-mimpimu, dan mau mencoba untuk berbaur dalam hidupmu yang bahkan kau sendiri belum tentu mengerti? Tidak butuh apa-apa lagi.

Zombie. Sosok aneh yang datang menyambut saya dengan kedua tangannya yang terbuka, menerima saya bagaimanapun saya. Ternyata sosok laki-laki idaman dalam novel, drama, maupun film benar-benar ada! Saya tidak mengada-ada atau melebih-lebihkan, tapi jika saya melihat siapa yang saya dapatkan dari sudut pandang orang lain, maka seperti itulah kiranya pendapat saya. Kadang kita tidak harus terus menjadi diri sendiri untuk dapat mensyukuri apa yang telah kita miliki, kan?

Saya harusnya bersyukur mendapatkan seseorang seperti Zombie. Meskipun kadang menyebalkan dan lupa mengontrol emosi, bukankah itu manusiawi? Bagaimanapun dia, saya rasa, saya harus bisa mencoba dan lebih berusaha untuk menerimanya (sebagaimana yang telah saya lakukan sejak awal). Saya sering membuatnya "makan hati", dan dia selalu mau memaafkan saya dengan menyalahkan dirinya sendiri. Tentu saya sadar bahwa saya yang salah, dan bukan hal yang benar kalau dia yang harus menyalahkan dirinya atas kesalahan yang saya lakukan. Selain itu, ketika salah satu dari kami sedang memuncak emosi, maka salah satu dari kami (terutama dan sering kali saya) akan lebih panas dari seharusnya sehingga kami butuh waktu untuk mendinginkan diri maing-masing. Tapi hal seperti itu bukankah wajar-wajar saja?

731 hari, katanya. Sejak saat itu, pada satu malam yang lalu dia berkata bahwa dia sudah menyadari akan sulitnya baginya untuk mendapatkan tempat di hati saya, di mana saya masih menempatkan seseorang terdahulu di dalamnya. Saya sedikit agak paham mengenai maksudnya, tapi saya tidak mau terlalu yakin akan hal itu karena sesungguhnya saya masih ragu-ragu untuk hampir segala hal tentang perasaan yang dulu dan sekarang. Saya cukup tertohok akan kata-katanya pada malam itu. Kata-katanya membuat saya berpikir lagi untuk menjadi seseorang yang lebih peka dan lebih berperasaan. Sampai pada detik ini, setelah pertemuan kemarin, saya rasa saya sudah memberinya tempat di hati saya. Ya, semua akan tiba pada waktunya :)


Pada salah satu tulisan juga saya pernah menyebutkan bahwa saya tidak ingin terlalu total dalam hal memberikan perasaan karena saya sudah tau bagaimana rasanya kehilangan kemampuan untuk merasakan hal-hal itu lagi. Maka pada cerita kali ini saya sering kali mengatakan hal tersebut. Syukurnya Zombie mau menerima hal itu meskipun dia sangat mengharapkan optimalitas dalam hal-hal tersebut dari saya. Saya hanya tidak ingin terlalu total sehingga kehabisan. Sebaiknya memberikan segala hal dalam kadar secukupnya supaya tidak habis. Kepada Zombie, saya harap kamu bisa mengerti mengapa banyak hal yang saya batasi dalam cerita kita, saya tidak ingin berlebihan, secukupnya saja. Saya harap standar ukuran "cukup" bagi saya dan kamu adalah sama sehingga kita bisa menakar segalanya dengan pas.

Sejauh ini beberapa perasaan silih berganti menyusupi hati saya akan berbagai hal. Sebagai perempuan dengan hati yang pernah sangat rapuh, kini hati saya sudah menjadi hati yang penuh kewaspadaan dan tidak ingin menjadi rapuh untuk yang ke-dua kalinya. Salah satu hal yang harus saya lakukan untuk membentuk hati yang tak rapuh lagi adalah dengan mencoba menjadi seseorang dengan hati yang dingin dan keras sehingga tidak mudah meleleh oleh sebuah kehangatan yang biasa. Sebenarnya saya tidak butuh kehangatan, karena kehangatan tentu tidak dibutuhkan saat musim panas, bukan? Yang saya butuhkan adalah kenyamanan, karena bagaimana pun kondisinya, jika sudah nyaman maka tak ada alasan untuk tidak tinggal.

Sejauh ini kenyamanan yang saya maksud datang dan pergi. Ada waktu-waktu di mana kenyamanan itu pergi, dan ketika itu saya hanya mencoba untuk "bersikap baik". Dan ketika kenyamanan itu sudah datang, maka saya hanya ingin menahan kenyamanan itu untuk waktu yang lama. Karena saat kenyamanan itu datang, saya merasa sangat beruntung ada seseorang seperti Zombie yang mau repot-repot berurusan dengan hati saya.

Ada beberapa pertanyaan dari Zombie, tapi saya hanya akan menjawab satu saja karena saya rasa yang satu itu sudah akan mewakili pertanyaan lainnya. Apakah sudah ada tempat di hati saya untuk dia? Saya akan memberikan jawaban sudah. Tinggal menunggu (maaf karena kamu harus menunggu lagi, Zombie) sedikit lagi sampai tiba waktunya untuk semuanya menjadi seperti yang kita inginkan.

Tujuh ratus tiga puluh satu hari. Bukan waktu yang singkat dan tidak sedikit langkah yang kita ayun. Sudah terlalu jauh untuk kembali, lebih baik fokus pada apa yang akan ditemui di masa depan. Kita memang tidak pernah tau bagaimana takdir kita dirancang, tapi tidak pernah salah jika kita terus berusaha. Bukankah bahkan Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang jika seseorang itu sendiri tidak mau berubah? :)


Tulisan ini panjang, ya. Namanya juga pratinjau, banyak hal yang harus dievaluasi dan ditinjau ulang sebelum melanjutkan ke langkah berikutnya.

Selamat malam :)
<3 #2724

Sabtu, 01 Agustus 2015

Aku Bisa Mencintaimu Melalui Lagu

Tertanggal 26 Juli 2015

Tulisan ini mungkin akan membuatmu sedikit merasa sakit hati, tapi percayalah, aku tidak bermaksud demikian. Aku hanya ingin mencoba sedikit demi sedikit membuatmu melihat diriku sebagaimana aku. Mungkin aku aneh, tapi kurasa kamu bisa menerimanya.

Rasanya hidupku akan sepi dan tidak berperasaan tanpa musik. Sehari saja tidak memanjakan kuping dengan satu-dua lagu, rasanya hidup seperti datar-datar saja.

Dengan jarak yang memisahkan kita, dan waktu yang sedikit untuk kita, jujur saja, saya merasa kesal dan ingin putus saja. Boleh dibilang saya cepat menyerah, apalagi dalam hubungan. Sebelumnya juga begitu (hati saya mulai cenat-cenut untuk memutar memori lama), putus karena tak ada waktu untuk  bertukar kabar. Saya sakit hati ditinggal-tinggal, terlebih itu membuat saya menunggu hal yang tak pasti kapan datangnya. Kabar darimu itu, saya tidak tahu kapan akan tiba.

Saya selalu benci menunggu. Menunggu membuat saya seperti orang yang tak punya kerjaan sehingga masih punya waktu untuk menunggu orang lain. Tapi sayangnya saya tidak bisa membuat orang lain untuk tidak menunggu saya. Maafkan saya membuat kamu sering menunggu, bahkan hingga detik kamu membaca kalimat ini punkamu masih menunggu, kan? Menunggu di depan pintu hati saya sampai kamu dipersilakan masuk.

Saya memang benci menunggu, tapi saya lebih benci pada diri saya yang kerap melakukan sebuah penantian. Lelah. Bosan. Kesal. Jika ada kata yang maknanya berkenaan dengan ketiga kata itu, maka itu juga yang saya rasakan. Saya mulai lelah mengatur emosi; kapan harus tidak kesal, kapan harus lega, kapan harus simpati, kapan harus merasa ini dan itu. Meski begitu, toh saya tetap menunggu kabar darimu yang memang selalu terlambat datang. Saya sungguh merasa seperti orang bodoh karena menunggu, karena melakukan hal yang saya benci.