Sudah sejak lama saya menyadari bahwa kita punya cukup
banyak perbedaan dunia. Saya tidak tahu bagaimana membuat sebuah paragraph pembuka
untuk tulisan ini. Tapi kalimat di atas jelas mewakilinya.
Saya bukanlah orang yang pandai bersosialisasi meskipun
senang turut aktif di dunia maya; sosial media. Ketika terjun langsung ke dalam
sosial, saya merasa asing dan tidak tahu harus apa, bersikap apa, bicara apa,
menggunakan manner yang mana, dsb. Maka dari itu, saya agak benci
bersosialisai. Menurut saya, bersosialisasi hanya ajang pura-pura. Banyak
pura-puranya -_- Entahlah, itu masih opini awal saja, masih bisa berubah
seiring tulisan ini berlanjut.
Saya sering merasa iri pada orang-orang yang pandai dan
piawai bersosialisasi. Hidup terlihat mudah. Relasi di mana-mana, tidak perlu
malu, terampil dalam berkomunikasi dengan berbeda orang, dsb. Saya hanyalah anak
kecil gadis ingusan yang merasa cukup dengan kesendirian dan lingkaran
kecil kehidupan sosialnya.
Saya iri padamu. Iya, kamu, K. Kamu sangat piawai bicara dan
bersikap di depan berbeda orang. Meski demikian, di belakang mereka kamu selalu
bicarakan hal yang sangat tidak saya sangka dari sikapmu menghadapi mereka. See,
bersosialisasi hanya ajang pura-pura. Dibutuhkan kepiawaian.
Sejauh ini saya sudah mencoba beberapa hal untuk
meningkatkan kemampuan bersosialisasi saya. Mencoba bergabung dalam organisasi
dan ekstrakulikuler di sekolah dan kampus. Hasilnya, yah, saya punya lebih
banyak pengalaman dari sebelum-sebelumnya. Saya juga kenal lebih banyak orang
dari sebelumnya. Tapi saya belum bisa menaklukkan diri saya yang menyukai
kesendirian dan kontemplasi, berpikir tentang banyak hal; bercumbu dengan
imajinasi yang tak pernah berbatas.
Terima kasih, kamu pun sudah turut ikut memperkenalkan saya
pada duniamu yang penuh dengan orang-orang. Tapi, tetap saja, jika saya tidak
merasa nyaman, saya tidak bisa diam. Saya rasa, kita memang berbeda dalam hal
itu.
Mengingat kembai masa SMA, saya mengikuti 3 kegiatan;
Pramuka, OSIS, dan Paskib. Ketiganya saya ikuti atas dasar keingintahuan dan
menantang diri untuk lebih berani. Tapi sayang, saya tidak bisa bertahan sampai
lulus dalam ketiganya. Saya hengkang dari Paskib setelah latgab pertama yang
sangat melelahkan, fisik saya tidak mau disiksa. Saya perlahan meninggalkan
OSIS di kelas XI. OSIS mulai menjemukan
sejak awal, tapi saya memaksakan diri saja karena masih penasaran dengan
kinerja kerjanya. Ah, terlalu banyak orang yang cari muka, menurut saya. Not
my style. Dan Pramuka, saya tidak ingat kapan saya meninggalkan ekskul
kesukaan saya itu. Di Pramuka, saya banyak mendapat apa yang ingin saya alami;
kemah misalnya.
Tentu saja, dalam setiap organisasi, setiap tahunnya kita
pasti punya “adik”. Kemudian ketika lulus, kita akan menjadi alumni dan punya
banyak “adik”, ditegur dan dikenal. Saya menginginkan hal itu. Tapi saya tahu
bahwa saya bukan orang yang bisa betah berlama-lama bersikap manis dan
sebagainya. Jadi, saya tidak tahu apakah status saya sebagai alumni dan diingat
oleh “adik-adik” itu tercapai atau tidak. Setidaknya, saya punya bekas ingatan
bahwa saya pernah menjadi “kakak” bagi mereka.
Rekam jejak saya dalam mengikuti organisasi tidak bisa dibilang bagus atau keren. Hal tersebut
karena… bagaimana menjabarkannya, ya? Saya tidak berbakat dalam urusan
bersosialisasi.
Berbeda dengan kamu. Kamu sangat suka bersosialisasi, terjun
mengurusi urusan kemanusiaan, ikut organisasi besar dan terlibat dengan banyak
jenis manusia, berinteraksi dengan mereka menggunakan seribu topengmu.
Sebenarnya saya benci melihat itu. Alasanmu, pelarian. Entahlah. Saya iri
tetapi saya benci.
Lebih mudah rasanya berada di luar lingkaran sosial dan
berfokus pada diri dan dunia sendiri. Membentuk sosial sendiri. Tapi tentu,
diciptakan sebagai makhluk sosial, saya harus bersosialisasi. Dan saya sangat
pemilih. Sayangnya saya bukan air yang bisa nyaman dalam wadah berbagai bentuk.
Kata orang, hidup itu dimulai ketika kita meninggalkan zona
nyaman kita. Saya berpikir, kenapa? Toh dalam zona nyaman itu sendiri banyak
tantangan. Ataukah persepsi dan interpretasi saya yang masih terlalu sempit?
Dunia kita sungguh terasa berbeda jika berbicara mengenai
hal itu, K. Saya benar-benar terganggu dengan urusan dan kesibukanmu dalam
dunia itu. Awalnya, saya merasa egois karena tidak suka bersosialisasi. Tapi
sekarang saya malah berpikir bahwa mereka yang egois, menyita waktu seseorang.
Ya, mereka, organisasi kesayanganmu dengan orang-orang yang sering kamu kritik
itu. Saya tidak mengerti kenapa kamu memaksakan diri bertahan jika kamu sering
merasa jengah. Bukankah hidup ini soal pilihan di mana kamu bisa memilih untuk
hengkang saja? Entahlah, dunia kita berbeda.
Suatu masa, ketika saya sedang merasa nyaman dengan
organisasi kampus yang saya geluti, kamu merasa jengah dan marah-marah sampai
menyuruh saya berhenti. Tapi saya suka! Tapi kamu tidak suka! Mungkin otak saya
yang terlalu fleksibel ini mudah saja dirasuki sugestimu itu, sampai akhirnya
saya vakum. Sudah tidak ada lagi kegiatan yang menjadi sainganmu dalam
menghabiskan waktu saya. Clear.
Sekarang, saya mau menuntut ganti rugi, timbal balik, upah,
bayaran, atau apa lagi namanya atas waktumu! Kamu. Sibuk dengan urusanmu,
duniamu, organisasimu. Haruskah sekarang saya hengkang dari dirimu? Ya, membuat
saya jengah. Menunggu seperti orang bodoh tak ada kerjaan, mengharap kabar yang
tak pernah datang, menunggu telepon yang tak juga berdering, menunggu waktumu,
semenit saja, untuk berbincang kecil. Tidakkah kamu paham? :D
Mencoba ikuti duniamua termasuk juga usaha saya dalam
menyembuhkan anti-sosial saya. Tapi nyatanya, sama saja. Hanya membuat sakit
hati dan lelah. Seperti kegiatan-kegiatan lainnya yang pada akhirnya saya
tinggalkan karena perasaan tidak nyaman dan lelah akan kepura-puraan, haruskah?
Haruskah kamu menjadi hal berikutnya yang harus saya tinggalkan? Lalu kemudian
saya berfokus pada dunia saya, di mana hanya ada saya, imajinasi yang sedang
tidur pajang, dan mimpi-mimpi yang tak kunjung tergapai.
K, dunia saya dan duniamu adalah dua hal yang berbeda. Pada
titik ini, sosial. Saya tidak bisa mengerti akan waktumu yang habis tersita
oleh kegiatan organisasi karena saya bukan lagi orang organisasi (karena kamu).
Dulu, ketika saya masih menjadi orang organisasi, saya masih bisa kok
menyisihkan waktu untuk kamu. Saya sungguh bertanya-tanya dengan serius,
mengapa bisa dari 24 jam itu tidak ada 1 menit pun untuk saya, sementara saya bisa menyisihkan lebih dari 1 menit
untukmu.
Jawablah; apakah duniamu adalah hal selanjutnya yang harus
saya tinggalkan?