Dulu... aku mengagumi sesosok pemuda. Tampan? Mungkin tidak begitu. Keren? Mungkin dia memang keren. Tapi... entah mengapa aku belum menemukan alasan yang tepat mengapa aku mengaguminya.
Dulu... aku mengenalnya cuek, pendiam, misterius, dan tenang.
Sekarang... aku tidak mengenalnya seperti dulu. Tidak semisterius dulu, tidak sependiam dulu, dan... aku sulit mengenalnya seperti dulu.
Dulu aku bisa jatuh cinta setiap hari padanya. Mengapa kini begitu sulit?
Dulu aku bisa tak merasa bosan. Mengapa kini tak semudah dulu?
Sebelum ini aku mengetahuinya, tapi tak ku duga mampu ku rasakan ini. Bosan. Dibalik rindu, terselip bosan. Berbahaya....
Bagaimana bisa bertahan jika tak mengalah?
Sampai kapan akan mengalah?
Akankah secepat ini menyerah?
Ayolah!
Bisakah dia mendatangkan perasaan jatuh cinta setiap menatapnya seperti dulu?
Harusnya hati memahami jika ia sudah siap untuk begini. Tapi nyatanya hati punya batasan untuk mengerti dan kini ingin diberi sedikit saja perhatian.
Ketika rindu sudah datang dan sulit terungkapkan, siapa yang salah?
Ketika rindu itu terasa keliru, siapa yang disalahkan?
Ketika rindu itu isyarat untuk berlalu, apa yang baiknya dilakukan?
Ketika rindu itu hampir lenyap dan mungkin tidak akan kembali, bagaimana selanjutnya?
Bagaimana jika ini adalah rindu yang sebenarnya rindu? Rindu yang benar-benar merindukan segalanya? Rindu yang merindukan masa lalu? Rindu yang bisa saja terlarang? Rindu yang mungkin saja tak seharusnya?
Ah, begitu letih mengurai rindu yang belum habis tersampaikan. Sampai nanti mungkin akan dipendam. Sampai nanti pada saatnya akan terobati. Sampai semua rindu akan terasa benar kembali.
Ayolah, hati ini harus percaya bahwa rindu sepenuhnya untuk dia, pemuda yang dulu membuatku jatuh cinta. Dan hingga kini masih saja membuatku jatuh cinta hingga merindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar