Hai. Setelah beberapa bulan tidak pernah muncul kisah di
sini, hari ini muncul juga. Ada cerita tentang beberapa hari yang lalu dan
beberapa keping memori.
Pada 27 yang ke-29, kami break. Bukan break-up.
Hanya rehat dari urusan yang mengikat hati. Kami sepakat. Awalnya saya yang
ingin mengajukan tawaran serupa, tapi tak tega. Akhirnya dia yang berucap
duluan. Dan kami sepakat. Saya merasa dia butuh waktu untuk “hidup”. Dan dia
merasa saya masih punya urusan yang belum selesai, jadi saya harus menyelesaikannya.
Demikian, kami sepakat untuk rehat sejenak. Kata dia, perihal nanti akan lanjut
atau tidak, dia akan tidak mengapa. Saya hanya mengiyakan saja karena belum
bisa memberikan jawaban yang jelas pasti. Tapi satu yang pasti, saya mesti
menyelesaikan apa yang belum selesai.
Bermula dari sebuah mimpi. Saya bukanlah tipikal orang yang
sering bermimpi bunga tidur. Kalaupun bunga tidur, paling jarang-jarang. Tapi
mimpi yang satu itu seperti punya jatah sendiri untuk datang, setidaknya
menurut kesimpulan sementara saya. Mimpi dengan dasar yang sama, pola yang
sama, dan berkala. Apa mau dikata? Terkadang saja saya memilih mimpi, tapi pada
akhirnya mimpi itu mengatur dirinya sendiri –atau alam bawah sadar saya yang
menggila.
Dan mimpi itu datang lagi. Dia. Muncul di mimpi itu
dengan seragamnya. Mimpi saya hitam-putih bak layar televisi jaman kapan.
Berdiri dengan jarak beberapa meter saja, yang penting masih bisa memantau saya
yang sedang bercengkrama dengan teman-teman sejawat. Berdiri memantau,
mengawasi, dan menunggu. Hampir selalu seperti itu pada setiap mimpi yang ada.
Saya ingin bercerita pada dia, bukan dia. Saya ingin
tanpa rahasia dengannya, tapi tak tega. Saya tahu kisah tentang dia tentu
akan membuat dia merasa panas dan sekuat energi menahan diri dari gejolak api
cemburu yang lekas membara. Alih-alih menjaga perasaannya, ternyata saya malah
seperti memberinya luka dengan silet tumpul. Ketika saya bercerita, setelah
kami sepakat rehat, dia bilang sayang sekali baru diceritakan sekarang. Tak
taunya dia sudah tau. Dan rasanya seperti memakan kue jatah dia lalu pura-pura
tak tau, tapi ternyata dia sudah tau. Tidak enak! Dan serba salah.
Dalam masa rehat, kami sepakat untuk tidak terlalu
sentimental terhadap hal-hal yang biasanya membuat cemburu atau sakit hati.
Istilah saya sih netral. Jadi, jujur-jujuran saja. Memang dasar tak
enakan, dia pun sungkan bilang perasannya walau tetap dikatakan juga.
Baru berjalan dua hari ditambah hari ini. Hati saya rasanya
melambung mengikuti angin saja, seperti kapas yang terbang terlepas dari buah
kapuk yang masih menggantung di pohon. Belum ada yang terlihat pasti, semua
masih kabur, sekabur penglihatan saya tanpa bantuan kacamata. Ada harapan yang
sudah bulat bersamanya, tapi bulatan itu belum akhir-bertemu-awal hingga terasa
belum bisa dibilang bulat. Entahlah. Susah sekali menjelaskan bagaimana harapan
ini ingin bersama dia. Hati berkata ingin, tapi rupa-rupanya hati saya mengidap
bipolar, yang satunya lagi berkata ingin bersama dia. Sebagai satu raga
satu kepala, saya hanya bisa penasaran dengan sistem semesta ini. Tak sabar
untuk besok, pun belum siap.
Semoga masa rehat ini benar-benar menjernihkan semua. Semoga
saya mampu menyelesaikan yang belum selesai ini. Dan semoga semua yang belum
jelas menjadi jelas sekali.
Salam,
Adik kecil yang selalu membutuhkan Abangnya.
PS: tulisan ini mungkin sangat egois, tapi mau bagaimana?
Saya tidak bisa membaca pikirannya dan –nya. Sekedar curhatan belaka
supaya rehat ini agak melegakan hati (yang bipolar).