Jumat, 29 Januari 2016

Cerita 27 ke-29

Hai. Setelah beberapa bulan tidak pernah muncul kisah di sini, hari ini muncul juga. Ada cerita tentang beberapa hari yang lalu dan beberapa keping memori.

Pada 27 yang ke-29, kami break. Bukan break-up. Hanya rehat dari urusan yang mengikat hati. Kami sepakat. Awalnya saya yang ingin mengajukan tawaran serupa, tapi tak tega. Akhirnya dia yang berucap duluan. Dan kami sepakat. Saya merasa dia butuh waktu untuk “hidup”. Dan dia merasa saya masih punya urusan yang belum selesai, jadi saya harus menyelesaikannya. Demikian, kami sepakat untuk rehat sejenak. Kata dia, perihal nanti akan lanjut atau tidak, dia akan tidak mengapa. Saya hanya mengiyakan saja karena belum bisa memberikan jawaban yang jelas pasti. Tapi satu yang pasti, saya mesti menyelesaikan apa yang belum selesai.

Bermula dari sebuah mimpi. Saya bukanlah tipikal orang yang sering bermimpi bunga tidur. Kalaupun bunga tidur, paling jarang-jarang. Tapi mimpi yang satu itu seperti punya jatah sendiri untuk datang, setidaknya menurut kesimpulan sementara saya. Mimpi dengan dasar yang sama, pola yang sama, dan berkala. Apa mau dikata? Terkadang saja saya memilih mimpi, tapi pada akhirnya mimpi itu mengatur dirinya sendiri –atau alam bawah sadar saya yang menggila.

Dan mimpi itu datang lagi. Dia. Muncul di mimpi itu dengan seragamnya. Mimpi saya hitam-putih bak layar televisi jaman kapan. Berdiri dengan jarak beberapa meter saja, yang penting masih bisa memantau saya yang sedang bercengkrama dengan teman-teman sejawat. Berdiri memantau, mengawasi, dan menunggu. Hampir selalu seperti itu pada setiap mimpi yang ada.

Saya ingin bercerita pada dia, bukan dia. Saya ingin tanpa rahasia dengannya, tapi tak tega. Saya tahu kisah tentang dia tentu akan membuat dia merasa panas dan sekuat energi menahan diri dari gejolak api cemburu yang lekas membara. Alih-alih menjaga perasaannya, ternyata saya malah seperti memberinya luka dengan silet tumpul. Ketika saya bercerita, setelah kami sepakat rehat, dia bilang sayang sekali baru diceritakan sekarang. Tak taunya dia sudah tau. Dan rasanya seperti memakan kue jatah dia lalu pura-pura tak tau, tapi ternyata dia sudah tau. Tidak enak! Dan serba salah.

Dalam masa rehat, kami sepakat untuk tidak terlalu sentimental terhadap hal-hal yang biasanya membuat cemburu atau sakit hati. Istilah saya sih netral. Jadi, jujur-jujuran saja. Memang dasar tak enakan, dia pun sungkan bilang perasannya walau tetap dikatakan juga.

Baru berjalan dua hari ditambah hari ini. Hati saya rasanya melambung mengikuti angin saja, seperti kapas yang terbang terlepas dari buah kapuk yang masih menggantung di pohon. Belum ada yang terlihat pasti, semua masih kabur, sekabur penglihatan saya tanpa bantuan kacamata. Ada harapan yang sudah bulat bersamanya, tapi bulatan itu belum akhir-bertemu-awal hingga terasa belum bisa dibilang bulat. Entahlah. Susah sekali menjelaskan bagaimana harapan ini ingin bersama dia. Hati berkata ingin, tapi rupa-rupanya hati saya mengidap bipolar, yang satunya lagi berkata ingin bersama dia. Sebagai satu raga satu kepala, saya hanya bisa penasaran dengan sistem semesta ini. Tak sabar untuk besok, pun belum siap.

Semoga masa rehat ini benar-benar menjernihkan semua. Semoga saya mampu menyelesaikan yang belum selesai ini. Dan semoga semua yang belum jelas menjadi jelas sekali.

Salam,
Adik kecil yang selalu membutuhkan Abangnya.

PS: tulisan ini mungkin sangat egois, tapi mau bagaimana? Saya tidak bisa membaca pikirannya dan –nya. Sekedar curhatan belaka supaya rehat ini agak melegakan hati (yang bipolar).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar