Sabtu, 15 Agustus 2015

Hari Bersamanya~

Hadiah ulang tahun yang terlambat. Bukan sebuah kesalahan besar.

Terpisah jarak selama hampir dua bulan ternyata membawa efek yang agak bagus. Nyatanya, saya bisa jatuh cinta juga. Akhirnya setelah hampir dua tahun lamanya. Saya lupa bagaimana memperlakukan orang yang saya sayangi, tapi rasanya dengan dia saya tidak perlu repot-repot. Meskipun kita ada tipe orang yang sama sekali berbeda. 

Dia kemaren bertutur bahwa sungguh aneh bahwa dia bisa jatuh cinta pada orang seperti saya. Dia, ingin sekali dimanja, disayang-sayang, dan ditunjukkan bagaimana kasih sayang dalam tindakan. Tapi saya sama sekali kebalikannya. Ketika saya jatuh cinta kemudian menyayangi seseoranng, saya lebih suka tidak melisankannya, tidak menunjukkannya secara frontal, cukup seperti dalam diam saja. Tapi apa mau dikata, pada akhirnya dialah yang melakukan hal-hal yang dia inginkan. Dan saya, saya menyayanginya dengan cara saya yang diam.

Saya diam terkadang saya malu jika harus mengumbar-umbar kata cinta sementara ujung perjalanan belum terlihat. Jalani sebagaimana adanya saja. Tapi ketika ingin menyampaikan sesuatu, saya menuliskannya, lalu memberinya untuk dibaca. Lambat laun (mungkin) kita terbiasa dengan ritme seperti itu.

Dia pernah mengeluhkan mengapa saya seringkali membuatnya terbang namun sejurus kemudian menghentaknya ke tanah. Saya sering menjawab tidak tahu. Sekarang saya hampir menemukan jawabannya karena saya memikirkannya terus-menerus. 

Mungkin saya seperti itu karena saya tidak mau memberi harapan berlebih, harapan yang cukup saja. Bukankah lebih sakit sebuah harapan kosong? Nah, selain itu juga... mungkin ini akan membuat dia melayang terbang, saya selalu menjatuhkannya ke tanah lagi karena saya tak ingin dia melayang. Kalau dia melayang, dengan siapa saya berpijak? Dengan siapa saya berjalan bersisian? Siapa yang menggandeng tangan saya? Dengan siapa saya akan memandang langit bertabur bintang? 

Katanya dia akan merantau lagi. Ah, padahal belum sampai sebulan kita di pulau yang sama. Kalau dulu dia ingin pergi, saya tidak merasa sedih atau apa. Tapi rupanya sekarang hati saya memang sudah berubah, saya bisa merasa sedih. Bahkan hanya memikirkan sebuah ketidakpastian akan kepergiannya pun membuat nafsu makan saya luntur (atau karena masih kenyang?).

Buku-buku. Mungkin selain dengan makanan, buku-buku adalah hal yang akan bisa membuat saya merasa lebih disayang. Sebagai seseorang yang cukup suka membaca, diberikan buku rasanya sangat bahagia. Dan ketika seseorang yang menyayangi kita memberikan hal yang bisa membuat kita bahagia rasanya seperti disayang sepenuhnya. Karena apa? Karena hal seperti itu seperti dia mau membaur dengan hidup kita meski hidupnya sungguh tidak sama sekali berhubungan dengan hal yang membuat kita bahagia. Tapi bukankah melihat orang yang kita sayang bahagia sudah membuat kita pun cukup bahagia? 

Selang sehari kita bertemu. Dibilang sengaja, iya. Dibilang memaksakan, juga iya. Dibilang  kebetulan, bisa juga. Yang jelas, pertemuan kita harus selalu berkualitas. Di zaman ini rasanya kuantitas tak ada harganya, hanya kualitas yang dijunjung tinggi. Begitu juga dengan pertemuan kita. Meskipun tak sering -juga tak jarang- tapi sebisa mungkin setiap pertemuan kita buat berkualitas, bukan? 

Dalam setiap pertemuan rasanya seperti saya punya banyak hal untuk dikatakan dan dibahas. Tapi yang terjadi adalah saya hanya bertukar cerita ringan yang sering kali tidak penting. Kemudian, rasanya kalau bertemu itu hanya ingin memuaskan diri menatap dia saja. Rindu tidak butuh kata. Rindu saya, butuh dia. 

Bicara soal rindu, bagaimana mekanisme rindu itu? Dia selalu mengucap rindu padahal baru saja bertemu. Dia selalu mengucap rindu, kadang tanpa memikirkan saya yang juga memang rindu tapi lebih memilih diam. Ya, kita berbeda. Saya akan mengira-ngira. Mungkin rindu adalah perasaan yang datang ketika kita usai bertemu, ketika kita sudah lama tak bersua, ketika kita menginginkan pertemuan. Semua benar, bukan? Tapi saya heran, mengapa saya bisa merasa rindu bahkan ketika sedang duduk di hadapannya? Ketika bersamanya dan memikirkan dia akan jauh lagi pun sudah membuat bakal rindu.

Banyak hadiah yang dia berikan untuk saya, tapi sebaliknya. Mungkin hadiah saya untuknya hanya tulisan-tulisan tentang perasaan saya yang sungguh sukar saya lisankan di hadapannya. Jangankan di depannya, di depan-Nya pun sungguh sulit mengatakan keinginan saya. Bukankah Dia selalu tau apa yang dibatinkan setiap hamba-Nya? Setidaknya, begitulah yang saya pikir.

-Pada sore yang sejuk, penuh rindu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar